Di kisahkan, bahwa
sahabat Nabi Abu Bakar As-Sidiq mempunyai seorang kerabat yang karena
kemiskinannya maka sahabat Abu Bakar menanggung seluruh biaya hidupnya. Dia
adalah sahabat Misthah bin Utsatsah. Akan tetapi ketika muncul sebuah
peristiwa berita dusta terhdap Aisyah ra
, Abu Bakar pernah sangat marah terhadap Mistah Bin Utsatsah, karena sahabat
ini turut andil dalam tesebarnya fitnah itu. Peristiwa ini terjadi
ketika kaum muslimin dalam perjalanana pulang dari perang bani mustahaliq.
Sampai akhirnya setelah peristiwa itu, Abu Bakar bersumpah” Demi Allah, saya
tidak akan membiayainya lagi karena ucapan yang diucapkannya kepada Aisyah”. Abu
Bakar bersumpah dengan nama Allah bahwa dia tidak akan membiayai lagi Mistah Bin
Utsatsah. Allah kemudian menurunkan firmannya : "Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di
antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum
kerabat(nya). Orang –orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan
Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak
ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.“ QS An-Nur : 22
Ketika dibacakan
ayat ini Abu Bakar lalu berkata : “ Demi Allah, sungguh aku ingin mendapatkan
ampunan Allah, kemuadian Abu Bakar memaafkan Mistah Bin Utsatsah dan kembali
menanggung biaya hidupnya. Mistah Bin Utsatsah seorang muhajirin dan juga ikut
berperang dalam perang Badar, akibat perbuatannya dalam menyebarluaskan
desas-desus berita fitnah tersebut dikenakan
hukuman dera (haddul qadzaf) sebanyak delapan puluh cambukan. Hukuman
dera yang diterima Mistah Bin Utsatsah telah membersihakan dosanya itu.
Sahabat, sungguh mulia akhlak
dari Abu Bakar, beliau memaafkan Mistah
Bin Utsatsah, orang yang turut andil akan tersebarnya desas desus yang menimpa
putrinya Aisyah ra, padahal Mistah Bin Utsatsah adalah orang yang selama ini dia tanggung biaya
hidupnya. Seperti manusia biasa, Abu Bakar pun marah, bahkan beliau sampai
bersumpah untuk tidak membiayai lagi Mistah bin Utsatsah, hingga akhirnya turun
ayat dalam QS. An Nur ayat 22. Dalam surat tersebut di jelaskan agar Abu Bakar
memaafkan dan berlapang dada, serta tetap memberikan bantuan kepada mistah agar
Abu Bakar mendapatkan ampunan dari Allah SWT. Kisah ini menunjukkan bahwa Abu
Bakar adalah orang yang bersegera memenuhi panggilan Allah untuk
memaafkan. Beliau adalah orang yang bersegera tunduk dengan perintah Allah.
Beliau tundukkan hawa nafsu enggan memaafkan karena telah tersakiti dan
dikhianati, semata-mata mengharapkan ampunan Allah.
Sahabat, bagaimanakah dengan
kita? pernakah anda merasa marah dan kesal atas kedhaliman orang lain terhadap
diri kita?. Apa yang sahabat rasakan ketika kita mendapatkan cacian, fitnah
ataupun perlakuan buruk dari orang yang selama ini kita bantu kesulitannya,
kita selesaikan permasalahannya? Secara naluriah mungkin kita akan merasa
sangat marah, hati kita menjadi bergejolak, timbul rasa keinginan yang kuat
untuk membalas perlakuan orang yang telah mendholimi kita, bahkan bisa jadi
seperti apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, kita bersumpah untuk tidak
memberikan bantuan ataupun pertolongan kepadanya lagi.
Sahabat, memberi maaf dan
berlapang dada seperti Abu Bakar dalam memenuhi seruan dari Allah dalam surat An Nur:22 diatas
bukanlah perkara yang mudah. Dibutuhkan keimanan dan ketundukan kepada Allah
SWT. Memberi maaf kepada orang yang mendholimi kita padahal orang itu adalah
orang yang selama ini kita bantu, bukanlah perkara yang mudah. Butuh sebuah
perjuangan untuk menundukkan emosi, dan hawa nafsu agar ia mampu menjadi
seorang pemenang. Pemenang dari bentuk dendam dan emosi yang merupakan
penyakit-penyakit hati.
Keteladanan Abu
Bakar dalam menghadapi Misthah Bin Utsatsah yang masih kerabatnya sendiri,
serta salah satu muhajirin dan sahabat yang ikut berperang dalam perang Badr
perlu kita contoh. Jika saat ini, orang yang selama ini kita bantu anak-anaknya
untuk belajar mengaji, orang yang kita bantu dengan berbagai pelayanan
kesehatan gratis, berbagai acara bazaar sembako murah, berbagai bantuan bencana
alam, orang yang kita bela hak-haknya, tetapi orang tersebut malah mencaci maki
kita, memfitnah kita, mencibir kita, maka maafkan dan berlapang dadalah.
Marilah kita tiru Abu Bakar, teruskan lah baksos-baksos itu, teruslah mengajar
anak-anak belajar mengaji, teruslah mengajar majelis-majelis taklim, teruslah
membela hak-hak kaum muslimin, teruslah cepat dan tanggap dalam membantu korban
bencana alam, teruslah memberikan pelayanan kesehatan gratis, teruslah bantu
mereka dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hidupnya, teruslah seperti itu,
agar engkau menjadi pemenang dengan mengharapkan ampunan dari Rabb mu.
Sahabat, teruslah berbuat baik,
teruslah menolong, teruslah bersikap baik sekalipun orang yang telah kita bantu
mencaci dan mendholimi kita. Maafkan lah dan berlapang dadalah wahai sahabat,
karena memberi maaf dan berlapang dada adalah sifat para pemenang, pantaskan
diri kita menjadi hamba-hamba yang pemaaf , yakinlah akan janji Allah, bahwa
kemenangan itu akan datang.
Wallahua’lam bi showab
Referensi : Dr. Muhammad Sa’id
Ramadhan Al-Buthy ,Sirah Nabawiyah. Robbani Press, 1999
0 komentar:
Posting Komentar