KH Ahmad Dachlan adalah pendiri Persjarikatan Moehamadijah. Di masa kecilnya bernama Mochammad Darwis bin Kiai Hadji Aboebakar, jika dilihat dari silsilahnya, beliau masih keturunan Maoelana Malik Ibrahim yang terkenal menjadi salah satu wali songo dalam sejarah perkembangan islam di Indonesia, lebih lanjut ternyata KH Achmad Dahlan adalah keturunan Rasulullah SAW melalui Al Moehadjir bin ‘Isa
KH Ahmad Dahlan terpanggil hatinya untuk menjawab tantangan kemiskinan structural masyarakat muslim korban penindasan system Tanam Paksa yang berlangsung 93 tahun (1830-1919M).Target aktivitas organisasi Persjarikatan Moehammadiyah adalah anak-anak yatim piatu. Dalam pandangan K.H Achmad Dachlan, system Tanam Paksa benar-benar meninggalkan kesengsaraan umat.
“Kondisi yang demikian menyedihkan tidak dapat dibiarkan. K.H. Achmad Dahlan membacakan kembali surah al-maun (QS 107:1-7), untuk membangkitkan kesadaran solidaritas kaum Muslimin terhadap saudaranya sesama Muslim yang terlanda derita menjadi fakir miskin dan yatim piatu, sebagai dampak dari Tanam Paksa, penindasan system pajak, dan penidasan lainnya dari pemerintah colonial Belanda,Apabila kaum muslimin tidak memedulikan nasib keduanya, mereka tidak ubahnya orang yang mendustkana agama islam (QS:107).”
Aku pun sedikit terhenyak, kata-kata ini kembali kubaca,kuamati tiap kalimatnya, satu paragraph yang ditulis oleh penulis buku ini membuatku seakan tertampar,tersindir...Aku pun melanjutkan membaca beberapa paragraf berikutnya
Untuk menyantuni kalangan dhuafa, dibentuklah Madlis Penolong Kesengsaraan Rakyat Oemoem (MPKO) pada 1918 M…
Dalam buku ini tidak membahas secara detail tentang biografi dan sejarah Muhamadiyah, buku karangan Ahmad Mansyur Suryanegara yang berjudul API SEJARAH ini menceritakan tentang mahakarya ulama dan santri dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sang penulis menceritakannya dengan apik. Ahmad Mansur Suryanegara telah mendudukkan sejarah sungguh sebagai sejarah; bukan hanya catatan peristiwa masa lalu, melainkan peristiwanya itu sendiri, HISTORIA VITAE MAGISTRA, itulah yang diperhatikan guru besar ini. Buku yang cukup menarik dan menambah wawasan, memberikan sebuah gambaran sejarah Indonesia dengan sudut yang lain.
Sehabis subuh, aku pun masih penasaran dengan sosok KH.Achmad Dahlan, ku cari lewat google tentang biografi tokoh ini.
KH Achmad Dahlan dibesarkan di lingkungan pesantren, pada umur 15 tahun ,beliau sudah naik haji ke Mekkah dan dilanjutkan menuntut ilmu di sana selama 5 tahun.
Aku pun terus membaca biografi singkatnya, dan aku berpikir, betapa hebatnya para pendahulu bangsa ini dalam memperjuangkan hak-hak mereka, betapa hebatnya mereka memperjuangkan hak-hak saudaranya, sungguh luar biasa.
Pagi ini aku sedikit mendapatkan sebuah inspirasi yang luar biasa dari seorang tokoh,seorang guru, seorang kyai, seorang pahlawan bangsa. 143 tahun yang lalu ,1 agustus 1868,lahir seorang tokoh bangsa,tokoh ulama ,tokoh pendidikan dari bangsa ini. Di perjalanan hidupnya, beliau mampu melahirkan karya-karya besar, bukan hanya bermanfaat bagi dirinya, akan tetapi juga bermanfaat untuk orang lain, agama dan bangsanya.
Lalu, bagaimanakah dengan aku?. 1 Agustus, 25 tahun lalu aku dilahirkan, akan tetapi belum ada sesuatu hal yang berarti yang bisa ku berikan, belum ada sebuah karya yang aku hasilkan. Menulis gagasan-gagasan pun aku masih kesulitan, belum banyak hal yang bisa kuberikan ke keluarga, masyarakat, agama, dan bangsa ini.
Akan tetapi, salahkah aku jika aku mempunyai sebuah cita-cita sebagaimana cita-cita K.H Ahmad Dahlan?Salahkah aku jika aku mempunyai sebuah kegelisahan yang sama yang mungkin beliau rasakan juga. Memang, aku dilahirkan dari keluarga biasa, tidak dibesarkan dari keluarga santri atau pesantren, tidak dibesarkan dilingkungan Muhamadiyah, akan tetapi KH.Ahmad Dahlan , pagi ini menginspirasiku, untuk bisa berbuat lebih bagi orang lain, bisa memberikan manfaat bagi orang lain.
Masalah bangsa ini juga menjadi masalah kita sebagai warga negaranya, keresahan bangsa ini adalah keresahan kita sebagai penduduknya. Salahkah, temen-teman kami yang hidup di pelosok desa menginginkan pendidikan yang lebih baik?salahkah teman-teman kami yang hidup di desa, yang makan nasi tiwul, yang mium air tajin untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik untuk menggapai cita-cita mereka?apakah orang-orang yang bisa makan roti dan minum susu saja yang berhak mendaptkan pendidikan yang baik?
Begitu banyak sarjana yang telah dihasilkan di negeri kita tercinta ini, begitu banyak kaum-kaum terpelajar yang menghuni negeri ini, akan tetapi kenapa kondisi bangsa kita masih seperti ini?. Bukankah mereka adalah orang-orang yang cerdas, orang-orang yang ahli? Tak sanggupkah para lulusan Sarjana yang cumlaude itu berkumpul untuk mencari solusi permasalahan negeri ini?
Ah..anda terlalu idealis,tidak realistis bung!..saya jadi teringat sebuah tulisan dari kakak sepupu saya,tentang Hutang Kaum Terpelajar? Apa benar kita tidak mampu? Beliau mengutip sebuah perkataan Mao Tse Tung” “ Datangilah orang-orang yang sedang bekerja, perhatikan dengan seksama. Kemudian pulanglah dan rumuskan dalam asas dan teori untuk engkau bawa kembali kepada mereka. Umumnya mereka bekerja hanya dengan landasan pengalaman dan kebiasaan, maka diharapkan dengan asas dan teori yang engkau rumuskan dapat membuat kerja mereka menjadi lebih baik”
Coba jika kita mempraktekkan apa yang diucapkan Mao tersebut di atas. Sarjana pertanian mau menyempatkan bagaimana petani bekerja kemudian berfikir dan mengemukaan solusi agar hasi lebih baik. Sarjana ekonomi menyempatkan ke pasar tradisional sekedar mengamati bagaimana para penjual tersebut bekerja. Mungkin dari sana muncul ide bagaimana mengelola secara lebih baik. Saya tidak berpretensi bahwa hal ini dapat dicapai dalam jangka waktu yang singkat. Tapi cobalah, kita menyempatkan untuk memperhatikan rakyat kita dan sedikit keringat dan konsentrasi semoga ada tawaran solusi. Tapi jelas kalau menyempatkan saja tidak mau, bagaimana akan bisa memberi solusi. Apalagi jika memperhatikan rakyat hanya sekedar memperhatikan rakyat dalam statistic.
Benar memang, perkataaan orang, bahwa “JASMERAH” Jangan lupakan sejarah!. Dengan sejarah kita bisa belajar, dengan sejarah kita bisa mengambil pelajaran, dengan sejarah kita bisa mengambil hikmah. Pagi tadi, dengan membaca buku sejarah seolah menamparku,mengingatkan ku, “Hai Taufiq! 25 tahun hidupmu di dunia, kamu sudah berbuat apa!berapa besar kemanfaatan yang telah kau berikan!”Aku hanya bisa diam tertunduk malu,aku akui, belum apa-apa,belum ada apa-apa.
Jika para kaum terpelajar dulu bahu membahu memperjuangkan kemerdekaan bangsanya?bagaimana dengan kita, yang mengaku Sarjana?tapi ternyata tak sebijak yang dikira, tak sebijak orang-orang diluar sana yang dengan segala keterbatasannya memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Jika konsekuensi iman adalah amal sholih, amalan apa yang sudah kita berikan? Jika sebaik-baik manusia adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain, kemanfaatan apa yang telah kita berikan?
Dimulai dari hal yang kecil, dimulai dari diri sendiri, dan dimulai saat ini juga. Allah masih memberikan kesempatan hidup buat kita sampai saat ini, belum ada kata terlambat untuk berbuat, walaupun kecil.
25 Tahun Ya Rabbana
Hamba Hidup di dunia
Hamba Penuh Dosa
Hamba Mohon Ampun
1 Agustus 2011, dua puluh lima tahun hamba hidup di dunia, tetapi belum banyak amalan yang hamba perbuat.Semoga, Allah memberikan kekuatan untuk mencapai mimpi-mimpi hamba.Amin Ya Rabb.Sebuah Nasehat yang ditulis KH.Ahmad Dahlan untuk beliau sendiri, yang saya adaptasi,semoga menjadi pengingat .
Wahai Taufiq, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai Taufiq, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah lainnya (diterjemahkan oleh Djarnawi Hadikusumo).
Jakarta,waktu dhuha,1 Ramadhan 1432 H/ 01 Agustus 2011
_refleksi perenungan diri,25 tahun hamba di dunia_
M.Taufiq Hidayat
.
0 komentar:
Posting Komentar